Akhlak, menurut para pemikir Muslim, menunjuk pada kondisi
jiwa yang menimbulkan perbuatan atau perilaku secara spontan. Dikatakan, orang
yang memiliki mental penolong, ketika melihat kesulitan-kesulitan yang dialami
orang lain, akan memberikan pertolongan secara spontan, tanpa banyak
mempertimbangkan atau memikirkan untung-rugi. Jadi, akhlak menunjuk pada
hubungan sikap batin dan perilaku secara konsisten.
Apakah akhlak yang merupakan watak dari manusia itu dapat
diubah? Jawabnya adalah bisa. Menurut Al Ghazali, akhlak bisa diubah dan
diperbaiki, karena jiwa manusia diciptakan sempurna atau lebih tepatnya dalam
proses menjadi sempurna. Oleh sebab itu, ia selalu terbuka dan mampu menerima
usaha pembaruan serta perbaikan.
Al Ghazali menambahkan, perbaikan harus dilakukan melalui
pendidikan dan pembinaan pada sikap dan perilaku konstruktif. Pembiasaan
tersebut dilakukan melalui metode berbalik. Sebagai contoh, sifat bodoh harus
diubah dengan semangat menuntut ilmu, kikir dengan dermawan, sombong dengan
rendah hati, dan rakus dengan puasa. Proses pembiasaan ini tentu saja tidak
bisa dilakukan secara instant tapi membutuhkan waktu, perjuangan, dan kesabaran
yang tinggi.
Ibnu Maskawaih, dalam buku Tahdzub Al Akhlaq mengusulkan
metode perbaikan akhlak melalui lima cara. Pertama, mencari teman yang baik.
Banyak orang terlibat tindak kejahatan karena faktor pertemanan. Kedua, olah
pikir. Kegiatan ini perlu untuk kesehatan jiwa, sama dengan olahraga untuk
kesehatan tubuh. Ketiga, menjaga kesucian kehormatan diri dengan tidak
mengikuti dorongan nafsu. Keempat, menjaga konsistensi antara rencana baik dan
tindakan. Kelima, meningkatkan kualitas diri dengan mempelajari kelemahan-kelemahan
diri.
Di samping itu, perbaikan akhlak memerlukan idealisme, yaitu
komitmen yang tinggi untuk selalu berpihak kepada yang baik dan yang benar.
Perbaikan akhlak berbeda dengan perbaikan pada sektor-sektor lain. Perbaikan
akhlak tidak dapat diwakilkan karena keputusan untuk berpihak kepada yang baik
dan benar itu harus datang dan lahir dari kita sendiri.
Idealisme seperti itu menjadi lebih penting lagi, karena
daya tarik kebaikan pada umumnya dikalahkan oleh daya tarik keburukan dan
kesenangan duniawi. Pemihakan pada kebaikan sebagai inti dari ajaran akhlak
benar-benar membutuhkan komitmen dan tekad yang kuat agar kita sanggup melawan
dan mengendalikan kecenderungan-kecenderungan nafsu. Inilah sesungguhnya makna
sabda Nabi SAW, ''Surga dipagari oleh kesulitan-kesulitan, sedangkan neraka
dipagari oleh kesenangan-kesenangan.''
Betatapun tingkat kesulitan yang dihadapi, perbaikan akhlak
harus tetap kita upayakan. Soalnya, agama itu pada akhirnya adalah akhlak.
Dalam perspektif ini, seseorang tak dapat disebut beragama jika ia tidak
berakhlak. Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya aku tidak diutus kecuali
untuk membangun kualitas-kualitas moral.'' (HR Malik). Wallahua'lam.
0 komentar:
Posting Komentar